Sabtu, 31 Juli 2010

Surat dari Hogwarts

"Senyummu mana, Ben? Penonton takkan suka kalau kau cemberut seperti itu," gerutu Marquis memelototi putra sulungnya dengan mimik tak suka. Mimik yang tersembunyi di balik riasan panggung penuh senyum dan topeng tawa yang menutupi kedua mata pria tiga puluh delapan tahun itu. Benaya menatap sang ayah dengan ekspresi menantang, tak senang dikatakan cemberut padahal ia memang tak begitu suka tersenyum. Kalau saja bukan karena ia menyayangi Mandy—ibunya—ia takkan mau bersusah payah menarik kedua sudut bibirnya membentuk kurva melengkung ke atas untuk penonton-penonton bodoh yang suka menyaksikan pertunjukkan aneh mereka. Penonton-penonton yang bertepuk tangan dengan setengah hati lalu melemparkan uang ke dalam topi miliknya dengan jumlah yang tak pernah cukup untuk keluarganya makan kenyang setiap hari.

"I will smile—on stage," jawabnya lalu kembali memandangi bayangan dirinya di cermin. Seperti biasa, kostum yang dipakainya selalu berkilauan, penuh dengan warna-warna cerah dan tak ketinggalan topi yang senada dengan kostum. Kali ini ia disuruh mengenakan rompi merah menyala yang membuat dada kurusnya terlihat. Dingin. Namun ia tak bisa protes, tentu saja. Penonton menyukai kostum yang meriah. Mana mereka peduli apa yang akan terjadi pada pemakai kostum tersebut nantinya. Kalau Benaya terkena serangan flu pun, mereka takkan tahu. Marquis pun tak peduli. Hanya Mandy yang akan merawatnya meski tak bicara apa-apa. Sudahkah ia bilang bahwa Mandy itu bisu?

"Aku tak mau tahu, kau harus tampil sebaik-baiknya hari ini!" bentak Marquis, "Kemarin ada penonton yang mengeluh padaku. Katanya kau tidak serius waktu beratraksi memutar piring. Penonton yang kecewa itu hal yang tabu buat kita! Mengerti kau, Benaya?"

"Mengerti, Father."

Benaya mencibir memalingkan wajahnya agar Marquis tak melihat. Sudah bosan bocah berambut pirang platina itu dibentak, dinasehati dengan kasar dan disumpah-serapahi oleh ayahnya sendiri. Hanya mendengar ocehan tak bermutu dari para penonton lantas pria itu percaya begitu saja dan menelannya bulat-bulat. Padahal penonton yang mengeluh itu kebanyakan pria-pria berumur yang mengalami disorientasi seksual yang mengingini dirinya untuk menemani dan yah kau tahu lah. Sialnya, Marquis tak pernah percaya dengan ceritanya. Marquis selalu menerima uang dengan senang hati lalu membiarkan dirinya dibawa pergi begitu saja. Asal dirinya tak terluka, kata pria itu.

Ia yang masih sebelas tahun bisa apa? Nothing.

"Aku keluar dulu menemui Mother," ujar Benaya melangkah keluar dari karavan tanpa menunggu jawaban dari Marquis. Bocah kecil itu berlari menghampiri Mandy yang sedang mengangkati pakaian-pakaian mereka dari jemuran. Sebentar lagi mereka akan segera berangkat ke pinggiran Irlandia untuk mengadakan pertunjukan jalanan. Mencari uang untuk sesuap nasi hari ini. Benaya memeluk Mandy lalu membantu wanita itu mengangkati jemuran. Senyum tulus pun terulas di wajah kurus Benaya. Menghabiskan waktu berdua dengan Mandy jauh lebih menyenangkan daripada bersama dengan Marquis. Jelas.

"Mother, aku dimarahi lagi," adunya sembari mengangkat sebuah celana panjang kering, "Father terlalu egois. Aku kesal. Mother percaya padaku, kan?"

Mandy mengangguk, menepuk-nepuk puncak kepala Benaya dengan lembut. Sesuatu dari langit tiba-tiba menukik tajam dan menghantam kepala Benaya hingga bocah itu terjatuh. Sebuah amplop surat kekuningan jatuh di pangkuannya beserta seekor burung hantu putih yang tergeletak dengan nafas tersengal. Mandy segera berlutut di samping Benaya. Senyum mengembang di wajah wanita itu kala menunjuk-nunjuk ke arah amplop di pangkuan Benaya. Benaya mengambil dan kemudian membukanya. Membacanya dengan ekspresi terpukau tak percaya.

"Aku penyihir?" tanya Benaya tak percaya. Mandy mengangguk lalu memeluk putranya erat-erat. "Cool."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar